Ditulis tanggal 13 Agt 2019 09:37:22
“Bila seorang anak manusia tahu diri serta memiliki kerendahan hati, akan memampukan dan mendayai kesadaran eksistensi dirinya untuk senantiasa mewujudkan tindakan melayani dengan hati, bukan demi pemuliaan dirinya,
tetapi untuk mengokohkan dirinya sebagai citra Allah”.
Sebuah Ajakan
Tema“Mari Melayani dengan Hati”, sebuah tema yang menggelitik bila di-cermati sungguh oleh semua kita yang masih memiliki HATI yang PEKA. Bagi penulis sendiri, ketika membaca tema tersebut, secara serta merta muncul pelbagai pertanyaan dalam benak; “Mengapa mari melayani dengan hati, harus dijadikan tema oikos edisi kali ini? Ada apa yang terselubung di balik tema? Apakah ada pesan sponsor perihal tema tersebut? Apa motif dan sasarannya yang mau dicapai oleh para awak oikos de-ngan mengangkat tema ini? Apakah pelayanan yang kita bangun dan kembangkan selama ini di komunitas; Keluarga, Biara dan Unit kerja tidak mencerminkan semangat melayani dengan hati?. Apakah pengorbanan tenaga, pikiran, perasaan, waktu bahkan uang dan kehendak bebas kita, tidak termasuk dalam koridor melayani dengan hati?. Apakah melayani dengan hati telah sirna di zaman nokia dan serba instan ini? Ataukah melayani dengan hati sudah terkontaminasi dengan virus zaman? Apakah melayani dengan hati selama ini telah tergeser dan tergusur melayani dengan pikiran demi memenuhi kebutuhan psikologis dan kebutuhan biologis semata…?”
Sungguh! sebuah litania pertanyaan panjang dan melelahkan untuk mencari suatu jawaban yang pasti dan akurat. Pertanyaan-pertanyaan bernuasa provokasi bagi diri sendiri untuk beraksi diri. Bahkan pertanyaan-pertanyaan terkesan sensitif dan emosional buat penulis sendiri, dan mungkin juga buat para pembaca yang budiman. Keterbacaan terhadap litania pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan di atas, harus dipahami oleh kita bahwasanya eksistensi pertanyaan tersebut bukanlah menuntut sebuah jawaban lantang dengan berdiri di perempatan jalan sambil membentangkan spanduk berslogan “Hidupku adalah perbuatan melayani dengan hati”. (Seperti kaum Sofis di zaman Yunani, Red) Melainkan sejauh mana pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu menyapa diri di saat permenungan dalam kesendirian. Pertanyaan-pertanyaan yang mampu menggugah nurani di saat relfeksi diri. Pertanyaan-pertanyaan yang mau menggali inspirasi dan spirit baru, sebagai lantera jiwa dalam menuntun laku dan langkah untuk melayani dengan hati yang santun. Pertanyaan-pertanyaan yang meng-gugat zona kemapanan pelayanan kita, yang hanya berfokus pada pikiran demi me-menuhi kebutuhan psikologis dan biologis diri. Pertanyaan yang membangkitkan aspek kesadaran baru demi mengolah dan menata lagi pola pikir, pola laku untuk melayani dengan hati. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya reflektif-transformatif demi mem-bangun motivasi murni dan niat tulus, sebagai pembelajaran dan pencerahan yang membawa perubahan dan pembaharuan diri seutuhnya dalam melaksanakan tindakan melayani dengan hati. Itulah makna terdalam mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan oleh penulis, dalam rangka membedah tema yang sifatnya sebuah ajakan.
Jika kita mencermati dari perspektif rasa bahasa, maka tema “Mari melayani dengan Hati” merupakan sebuah kalimat aktif yang bermakna “ajak, mengajak” yang berarti: 1. Meminta (menyilakan, menyuruh) supaya turut. 2. Menantang. 3. Membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu. Dan juga terpatri sebuah ungkapan “ajakan”, yang berarti: Anjuran (permintaan) supaya berbuat (KBBI, Balai Pustaka Jakarta, 2002 hal. 17). Dengan sudut pandang rasa bahasa yang dipaparkan arti leksikal di atas. Maka tidak ada alasan bagi kita, untuk tidak mau menindaklanjuti tema tersebut di dalam seluruh pola hidup dan kehidupan kita. Tidak perlu dipertanyakan lagi mengenai apa pesan tema tersebut untuk kita anak zaman ini. Karena eksistensi sebuah tema telah mendapat pemaknaan yang diartikan secara leksikal dengan amat tegas yakni; “Meminta sikap kertersediaan kita untuk berperan; Mengetuk hati nurani dan menyuluh jiwa kita untuk bertindak; Bahkan agak menuntut dan menantang totalitas diri kita untuk berbuat”. Untuk itu kata kunci bagi kita dalam mengaktualisasikan ajakan yang tersirat pada tema tersebut tidak lain, kita harus mempunyai waktu untuk mengolah diri mengenai “akar rumput” secara kontinyu dan terus bertanya siapakah aku ini, siapakah diriku!;“Bila seorang anak manusia tahu diri serta memiliki kerendahan hati, akan memampukan dan mendayai kesadaran eksistensi dirinya untuk senantiasa mewujudkan tindakan melayani dengan hati, bukan demi pemuliaan dirinya, tetapi untuk mengo-kohkan dirinya sebagai citra Allah”.
Mengaca Diri
“Bila seorang anak manusia dalam pelayanannya tidak mengedepankan HATI,
maka ia telah kehilangan jati dirinya, maka pupuslah sudah keluhuran budi dan fondasi kedirian untuk menjadi manusia”.
Setiap kita mempunyai keterpanggilan dan memiliki profesi. Sadar atau tidak! Kita tengah menekuni bidang keprofesian sebagai bentuk pengaktualisasian diri dalam perjalanan hidup ini. Apa pun bentuk profesi yang digeluti oleh kita, mendatangkan materi banyak, cukup atau pun sedikit. Mendapatkan jabatan-kuasa ataupun orang biasa. Memiliki sederetan pangkat, gelar kehormatan, piagam, ataupun orang biasa-biasa saja. Hal yang demikian tidaklah patut untuk dibanggakan dan diagung-agungkan! Tetapi hal yang esensi dalam pelayanan adalah; “Bagaimana cara kita melayani merupakan cermin paradigma pribadi, integritas diri dan kematangan emosional da-lam memancarkan kualitas jati diri ke dalam seluruh mekanisme kinerja kita”. Nilai pelayanan sepenuh hati terletak pada kesungguhan hati kita mengalirkan empat sikap ”P” yaitu; Passionate (sikap bergairah) mengutamakan semangat yang besar terhadap pekerjaan pelayanan bagi orang lain. (Jadi bukanlah mencari popularitas diri, pujian dan sanjungan dalam memberikan pelayanan). Progressive (sikap progresif) men-ciptakan cara-cara baru, memikat dan menarik untuk meningkatkan pelayanan secara khas dan gaya pribadi (bukan tiruan, kamuflase, dan ada maunya atau ada udang di balik batu dalam memberikan pelayanan). Proactive (sikap proaktif) mengutamakan inisiatif, inovatif yang tepat untuk pembaharuan menuju sebuah perubahan dalam memberikan pelayanan. (bukan menunggu perintah atasan, bukan pula mengejar kondite atau untuk mengejar kredit point dalam memberikan pelayanan). Positive (sikap positif) merupakan modal yang sangat efektif dan efesien dalam membangun relasi personal untuk mem-berikan pelayanan. (Jadi dalam memberikan pelayanan bukanlah mem-perhatikan tentang realita subjek sebagai siapa maupun mengenai apa pun; status, suku, agama, ras, dan golongan). (Dr. Patricia Patton; Buku : Pelayanan Sepenuh Hati; hal:1-8). Untuk itu keterpanggilan kita menjadi anak manusia pembelajar yang “Melayani dengan Hati” bukanlah sekedar slogan atau iklan. Tetapi haruslah menjadi kesaksian hidup yang diwujudkan dalam sebuah perbuatan nyata. Sehingga hidup adalah perbuatan melayani, sungguh-sungguh bergemah dan membumi. “Bila seorang anak manusia dalam pelay-nannya tidak mengedepankan HATI, maka ia telah kehilangan jati dirinya dan pupuslah sudah keluhuran budi dan fondasi kedirian untuk menjadi manusiawi”.
Jikalau Anda dan saya (kita) belum mewujudkan “aksi” melayani dengan hati dalam keseharian. Baiklah kita perlu menjadi manusia pembelajar dalam pelayanan yang mem-fokuskan melayani dengan hati. Untuk itu, tidak ada salahnya kita perlu mengaca diri dan harus belajar terhadap pengalaman indah dan nyata dari tokoh-tokoh sederhana, yang dikisahkan oleh Andy Flores Noya; Bidan Ros Rosita; Ia harus berjalan kaki selama 6 jam untuk mengunjungi pasiennya di pedalaman hutan Kanekes & Leu-widamar. Ia telah mengabdikan hidupnya selama lebih 10 tahun memberikan pelayanan kesehatan bagi orang-orang suku Baduy dengan waktu praktik 24 jam. Ia juga tidak memperhitungkan berapa gajinya, namun ia menaruh rezekinya pada para pasiennya, yang dengan rela memberi apa adanya dan ia pun menerimanya dengan penuh sukacita. Bidan Siti Aminah; melayani tanpa pamrih apapun bagi para pesien yang ber-penyakitan; korengan, kudisan, hidung meler di daerah kumuh Cilincing, ka-wasan Bekasi. Bahkan Ia harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli obat-obat bagi para pesiennya dan membeli mobil ambulans yang disetirnya sendiri demi ke-lancaran dalam memberikan pelayanan bagi pesiennya. Di benaknya para pesienlah yang harus diutamakan, tidak perlu berpikir rugi kalau mau melayani pasien, yang penting jiwa manusia harus diutamakan dan diselamatkan. Haji Soleh Muchsi; adalah sosok yang sangat peduli terhadap pendidikan anak-anak yang tak mampu, anak-anak para pekerja seks di daerah Dupak, Surabaya. Hatinya tergerak untuk melayani pen-didikan khusus bagi anak-anak. Sekolah yang didirikannya dengan lebel TANPA PUNGUT BIAYA. Haji Soleh sebagai Kepala Sekolah, juga sebagai guru dan merangkap pembantu pelaksana, yang harus menjaga kebersihan sekolah. Ibu Gisela, yang dijuluki dengan sebutan “Ma-ma Putih”; Negeri Jerman yang makmur ditinggalkannya, demi mengaktualisasikan janji pribadinya untuk menolong orang-orang kusta. Motivasi ter-sebut terinspirasi dari cerita nyata dalam buku mengenai Pater Damian, yang telah merawat orang-orang kusta di pulau Molokai. Janji dalam hatinya “Saya akan menerus-kan cinta dan pangabdian Pater Damian untuk melayani para penderita kusta di mana saja”. Mama putih datang ke Indonesia tahun 1963, pada umurnya yang ke 29. Mama putih telah mengabdikan dirinya tanpa pamrih bagi para penderita kusta di Pulau Lembata selama 45 tahun. Inilah empat tamu Kick Andy yang telah memancarkan “Pengabdian tanpa batas Melayani dengan hati” dalam kesaksian mereka pada acara “Kick Andy-Metro TV, tanggal 05 September 2008”.
Melayani dengan Hati, Pencerahan Hidup
“Jangan tanyakan kesalahan apa yang telah Anda perbuat dalam memberikan pelayanan, tetapi bagaimana Anda bisa berbuat lebih baik lagi untuk memberikan pelayanan. Jangan pernah mencatat bahwa anda telah sukses memberikan pelayanan, karena pelayanan anda yang tulus dan tidaknya telah tercatat dengan sendirinya dalam hati nurani orang-orang yang anda layani”.
Dalam menjalankan aksi melayani, perlu diakui bahwasannya kita keliru atau salah me-ngerti dan memahami arti dan makna tentang dan mengenai melayani. Konsep melayani yang telah tertanam dalam benak kita adalah perbuatan-perbuatan besar bersifat karitatif, memiliki karunia pelayanan dan didukung oleh dana yang kuat. Atau tindakan melayani adalah sebuah kewajiban. Misalnya; Kita selalu melakukan rutinitas tindakan melayani karena mereka adalah sang atasan/bos. Kita melakukan perbuatan melayani demi mengejar kondite dan kredit pointnya positif. Perspektif melayani karena ke-wajiban, sadar ataukah tidak selalu mengedepankan ratio dan ego demi memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis dalam diri kita. Tetapi kalau kita renungkan lebih jauh dan mendalam bahwasannya esensi melayani telah ada dan dimiliki oleh setiap pribadi. Bahkan tindakan melayani sudah diwujudkan oleh kita melalui hal-hal kecil dan se-derhana, dalam keseharian. Namun kualitas melayani terletak pada “MOTIVASI, NIAT DAN KETULUSAN” dari setiap pribadi yang melakukan tindakan melayani. Paradigma pelayanan dengan motivasi murni, niat suci dan ketulusan hati akan senantiasa menjadi sebuah lantera jiwa untuk memandu dan menuntun pola hidup, pola pikir dan pola laku kita dalam mewujudkan tindakan/perbuatan melayani dengan hati.
Sadar ataukah tidak bahwa eksistensi melayani dengan hati merupakan cermin para-digma pribadi yang berkualitas dalam proses pencerahan hidup. Perspektif inilah yang disebut sebuah HABITUS. Melayani dengan hati adalah sebuah habitus karena tindakan melayani itu sendiri berdasarkan hati tersapa, tersentuh, tergerak dan bergerak untuk melayani dengan tulus murni. Tindakan melayani adalah sebuah habitus karena me-rupakan panggilan jiwa untuk memancarkan motivasi dan niat suci. Melayani dengan hati merupakan sebuah habitus, telah terpatri dalam pergulatan dan pergumulan nyata oleh beberapa tokoh sederhana, yang telah dipaparkan dalam acara Kick Andy, Metro TV. Tindakan melayani dengan hati oleh ke empat tokoh sederhana itu, telah meman-carkan “Pengabdian tanpa batas”sebagai suatu model pembelajaran pencerahan hidup bagi pelayanan kita.
Akhirnya, di penghujung tulisan ini,
penulis mengajak para pembaca agar memahami secara baru ajakan,
“Mari Melayani Dengan Hati” lewat sebuah pertanyaan klasik “what can I do?”. Demi membantu kita memperbaiki, membangun, dan menata disposisi batin untuk mengubah pola hidup, pola pikir, dan pola sikap kita, agar mampu melayani dengan hati